Sabtu, 14 Juli 2012

Hukum Memakai Semir


Soal :
Apakah menyemir rambut yang beruban dengan selain warna hitam itu sunnah yang dianjurkan ataukah hanya sekedar boleh?
Jawab :
Ya, hukumnya sunnah yang dianjurkan karena Rasulullah Ssallallahu `alaihi wa sallam melihat jenggot ayah Abu Bakar sudah memutih, maka beliau mengatakan:
«غيروا هذا بشيء واجتنبوا السواد»
Rubahlah uban ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam.”(1)
Maka merubah uban dengan selain warna hitam dengan daun pacar (hinna’), katam atau yang lainnya, hukumnya sunnah. Adapun dengan warna hitam maka dilarang dengan dalil perkataan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam:
«يكون قوم في آخر الزمان يخضبون بالسواد كحواصل الحمام لا يريحون رائحة الجنة»
Akan datang di akhir zaman suatu kaum yang menyemir rambut mereka dengan warna hitam seperti perut burung, mereka tidak akan mencium bau surga.(2)”
Masalah lainnya, merubah dengan selain hitam yang menyerupai dan mengikuti orang kafir tidak boleh dan hendaknya dijauhi karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«ومن تشبه بقوم فهو منهم»
Siapa yang menyerupai dengan suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

(Al As’ilah Al Imaratiah, 6 Jumadil Awwal 1423 H)
(1) HR. Muslim 2/44 dan disebutkan Syaikh Muqbil Al Wadi’i rahimahullah di kitab Tahrim al Khidhab bis Sawad (Haramnya menyemir rambut dengan warna hitam) hal.42 sebagaimana terdapat dalam kitab Majmu`ah Rasail dan beliau membantah terhadap orang yang mengatakan bahwa perkataan ‘jauhi hitam’ itu mudraj.
(2)HR. Ahmad dan Abu Dawud sebagaimana di Silsilah Ash Shahihah Syaikh Al-Albani hal 41 jilid 3/446 dari hadist Ibnu Abbas dari jalan Abdul Karim Al Jazary dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Ibnul Jauzi telah keliru ketika beliau mengatakan bahwa Abdul Karim bukanlah Al Jazary tapi Ibnu Abi Mukhoriq, lalu dimasukkan ke Al-Maudhu`at. Yang benar hadits tersebut shahih, karena itu Syaikh Muqbil memasukkannya dalam kitab As-Shahihul Musnad)
Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang laen menerangkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun Rasulullah s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)
Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh para sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.
Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa ayahnya Abu Kuhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya.
Untuk itu, maka bersabdalah Nabi:
"Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)
Adapun orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua), tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam hal ini az-Zuhri pernah berkata: "Kami menyemir rambut dengan warna hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut."
Termasuk yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain-lain.
Share this post:

Bookmark and Share


Kamis, 12 Juli 2012

HAKIKAT WANITA


Penjelasan tentang hakikat wanita dalam Al Qur’an dan As Sunnah amatlah lengkap, memuaskan, sesuai dengan akal, fitrah manusia, dan realita atau kondisi masa kini. Sehingga tidak boleh menafsirkannya dengan tafsiran yang “dipaksakan”, tafsiran yang berdasar hawa nafsu maupun yang berkedok alasan tuntutan peradaban dan zaman.
Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai kaum wanita,
(الرجال شقائق النساء )
Wanita adalah bagian dari pria.”(HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih).
Allah menciptakan Adam, dan Allah menciptakan pula baginya pasangan untuk menentramkannya, dan menjadikan bagi keduanya mawaddah dan rahmah. Sehingga keduanya pada asalnya sama, namun berbeda dalam beberapa sifat. Allah Ta’alaberfirman :
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى
Dan laki-laki tidaklah sama seperti perempuan”(QS. Ali Imran: 36).
Ayat ini menjelaskan adanya perbedaan, baik secara parsial maupun universal, antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini tidak bisa lagi dipungkiri, oleh karena itu definisi adil dalam masalah laki-laki dan perempuan adalah, memperlakukan keduanya secara berbeda dalam masalah hukum, dan membagi tugas dan kewajiban antara masing-masing pihak. Lawannya yaitu zhalim, ialah menyamakan antara laki-laki dan perempuan, secara mutlak. Akan tetapi dalam beberapa hal, Allah menyamakan antara keduanya, Dia berfirman :
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”(An-Nisa’: 124)
Allah menyamakan bagi keduanya dalam masalah amal, begitu pula dalam masalah pahala, dan inilah yang disebut keadilan itu.
(ضلع من خلقن فإنهن بالنساء استوصوا )
Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok”(Muttafaq ‘alaih). Inilah khabar Nabawi yang pasti benarnya, menunjukkan adanya “struktur alami yang bengkok”. Maka itulah laki-laki perlu lebih memperhatikan wanita, bukan malah memanfaatkan celah tersebut untuk melecehkan dan menghinakannya.
Kelemahan Kaum Wanita
Diantara kelemahan yang dimiliki oleh wanita ialah sebagaimana disebutkan dalam hadits,(عقل ناقصات )“Wanita itu kurang akalnya”. Ini merupakan khabar Nabawi yang ditafsirkan melalui sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di hadits yang lain,
(رجل شهادة تعدل امرأتين شهادة )
Persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian satu laki-laki”(HR Muslim).
Hadits ini merupakan isyarat bahwa laki-laki lebih kuat ingatannya, lebih sedikit terpengaruh oleh perasaan, dan tidak mudah menuduh dan bimbang (lebih tegas).
Sementara dalam hadits, (دين ناقصات ) “Wanita itu kurang agamanya”, merupakan khabar Nabawi yang pasti pula benarnya, dan ditafsirkan lewat sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?”(Muttafaqun ‘alaih). Maka ini adalah kekurangan secara kodrati, yang wanita tidaklah disalahkan karenanya, dan juga agamanya tidak berkurang karenanya (tidak berdosa -pent).
Penjelasan Mengenai Pengutamaan Kaum Laki-Laki Dibanding Perempuan
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. An Nisaa: 34).
Ayat ini merupakan tasyrif (pemuliaan, yaitu dalam soal kepemimpinan kaum lelaki) sekaligus di dalamnya terdapat taklif (pembebanan, yaitu dalam soal kewajiban menafkahi) bagi kaum laki-laki. Keduanya (antara tasyrif dan taklif -pent) tidak bisa dipisahkan.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka secara baik” (QS. An Nisa’: 19)
لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”(QS. Al Baqarah: 233)
Pada akhirnya, pengutamaan laki-laki bertambah dengan adanya kewajiban, tanggung jawab, dan keharusan memberi nafkah bagi perempuan.
Inilah Hakikat Wanita Shalihah
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ
Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian)”(QS. An-Nisa’: 34). Inilah sifat wanita mu’minah yang diridhai dengan adanya tugas mulia dari Ar Rahman, berbeda halnya dengan apa yang dihembuskan oleh da’i-da’i penebar kerusakan di muka bumi, yang menyerukan emansipasi wanita!
Share this post:

Bookmark and Share


Pacaran dalam Islam


Gimana sich sebenernya pacaran itu, enak ngga' ya? Bahaya ngga' ya ? Apa bener pacaran itu harus kita lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?
Memiliki rasa cinta adalah fitrah
Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya...... dahsyat man...... yang diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampe' akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena pengen bukti'in cinta, bisa buat perut bunc(hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak .... dukun pun ikut bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo ngga' terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat de el el. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo' kagak terpenuhi manusia ngga' bakalan mati, cuman bakal gelisah (ngga' tenang) sampe' terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :
Gharizatul baqa'
 (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
Gharizatut tadayyun
 (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
Gharizatun nau'
 (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Pacaran dalam perspektif islam
In fact, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do'i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So....kesimpulannyaPACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.

Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."
(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: "Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga' punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."
Wallahu A'lam bish-Showab
Oleh: Buletin Dakwah Remas RIHLAH SMU N I Sooko, edisi 6, 1421 H
Disalin dari Lembar Buletin Dakwah BINTANG (2)
Dikutip dari http://www.alislam.or.id/artikel/arsip/00000028.html

Share this post:

Bookmark and Share


Islam Kok Pacaran


oleh Aliman Syahrani
Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.
Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya."Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.

Share this post:

Bookmark and Share