Hikmah&Hidayah – Ali Bin Abi talib waktu itu ingin
melamarFatimah, putri nabi Muhammad SAW. Tapi karena dia tidak mempunyai uang
untuk membeli mahar, maka ia membatalkan niat itu. Ali segera berhijrah untuk
bekerja dan mengumpulkan uang. Pada saat
Ali sedang bekerja keras, ia mendengar khabar kalau Abu Bakar ternyata melamar
Fatimah. Wah, bagaimana agaknya perasaan Ali, wanita yang sudah dia inginkan
dilamar oleh seseorang yang ilmu agama nya lebih hebat dari dia. Tetapii Ali
tetap bekerja dengan giat.
Share this post:
Lalu setelah beberapa lama Ali mendengar kabar kalau lamaran
Abu Bakar kepada Fatimah ditolak. Ali terpegun dan sedikit bergembira tentunya,
kata Ali “waah, saya masih punya kesempatan ”. Setelah mendengar khabar itu,
Ali bekerja lebih giat lagi agar cepat mengumpulkan uang dan segera melamar
Fatimah. Tapi tak lama setelah itu, Ali mendengar khabar kalau Umar Bin Khatab
melamar Fatimah. Wah, sekali lagi Ali mendahulukan orang lain, bagaimana
perasaanya? Tapi tak berapa lama Ali mendengar kalau lamaran Umar bin Khatab
ditolak. betapa senangnya Ali, mendengar kabar itu.
Tapi tak lama kesenangan itu kembali pudar Karena terdengar
khabar lagi, ternyata Usman bin Affan melamar Fatimah. ini sudah yang ketiga
kalinya, kata Ali “mungkin kali ini diterima. Kalaulah Usmantidak melamar
Fatimah secepat ini, InsyaAllah tidak lama lagi saya akan melamar Fatimah, tapi
, apa hendak dikata , adakah mahu mengalah
Dan sekali lagi, tidak berapa lama dari itu, khabar
ditolaknya lamaran Usman bin Affan pun terdengar lagi, betapa bahagianya Ali.
Semangat Ali untuk melamar Fatimah pun berkobar lagi.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Umar Ibnul
Kha¬tab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam
mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri
Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber¬tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.:
“Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi
Thalib?”
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak
utk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar
Ash Shiddiq r.a. dgn tergopoh-¬gopoh dan terperanjat ia menyambutnya kemudian
bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”
Setelah duduk beristirahat sejenak Abu Bakar Ash Shiddiq
r.a. segera menjelaskan persoalannya: “Hai Ali engkau ada¬lah orang pertama yg
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lbh dibanding dgn
orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada¬lah kerabat
Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran
kepada beliau utk dapat mem-persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau
semuanya di¬tolak. Beliau mengemukakan bahwa persoalan puterinya diserah¬kan
kepada Allah s.w.t. Akan tetapi hai Ali apa sebab hingga se¬karang engkau belum
pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar utk
dirimu sendiri? Ku¬harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu
un¬tukmu.”
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a.
ber¬linang-linang. Menanggapi kata-kata itu Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu
Bakar anda telah membuat hatiku goncang yg se¬mulanya tenang. Anda telah
mengingatkan sesuatu yg sudah kulupakan. Demi Allah aku memang menghendaki
Fatimah tetapi yg menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka¬rena aku
tidak mempunyai apa-apa.”
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yg memelas
itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a. Abu Bakar r.a.
berkata: “Hai Ali janganlah engkau ber¬kata seperti itu. Bagi Allah dan
Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”
Setelah berlangsung dialog seperlunya Abu Bakar r.a.
ber¬hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. utk melamar puteri Rasul Allah
s.a.w.
Beberapa waktu kemudian Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul
Allah s.a.w. yg ketika itu sedang berada di tempat ke¬diaman Ummu Salmah.
Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.:
“Siapakah yg me¬ngetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan
bu¬kakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-¬Nya dan ia pun
mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah
r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Mu¬hammad
s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian
hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada
Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai
kakiku ter¬antuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang itu ialah
Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian
mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di
depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai
maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya eng¬kau
mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg
engkau perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yg demikian itu
lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata: “Maafkan¬lah ya Rasul
Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu
Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum
mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui
anda juga. Dan anda ya Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg
menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan
sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri.
Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah
apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah
Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin
Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mem¬punyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda
sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak
anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah
pedang dan seekor unta.”
“Tentang pedangmu itu” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban
Ali bin Abi Thalib “engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di
jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi
keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka-rena
itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska¬win sebuah baju besi
saja. Aku puas menerima barang itu dari ta¬nganmu. Hai Ali engkau wajib
bergembira sebab Allah ‘Azza wa¬jalla sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan
engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi
riwa¬yat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati
gembira dgn disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan
kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwa¬sanya Allah s.w.t.
memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400
dirham . Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi
Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar
r.a. utk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Ra¬sul Allah s.a.w. Abu Bakar
r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah utk “biaya pesta” perkawinan.
Sisa uang itu dipergunakan utk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur terbuat dari kain kasar Mesir ;
-empat buah bantal kulit buatan Thaif ;
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air utk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai ‘aba-ah ;
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dgn itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat
kediamannya dgn perkakas yg sederhana dan mudah di¬dapat. Lantai rumahnya
ditaburi pasir halus. Dari dinding ke din¬ding lain dipancangkan sebatang kayu
utk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit
kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam
Ali r.a. yg disiapkan guna menanti kedatangan isterinya Sitti Fatimah Azzahra
r.a.
Selama satu bulan sesudah pernikahan Sitti Fatimah r.a.
masih tetap di rumahnya yg lama. Imam Ali r.a. merasa malu utk menyatakan
keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah
ke rumah baru. Dengan dite¬mani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim
Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka me¬nemui Ummu
Aiman pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman Imam Ali r.a.
menyampaikan keinginan¬nya.
Setelah itu Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna
menyampaikan apa yg menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesu¬dah Ummu Salmah r.a.
mendengar persoalan tersebut ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yg
lain.
Guna membicarakan persoalan yg dibawa Ummu Salmah r.a. para
isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap
Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.(4)
Oh rupanya : ternyata memang dari dulu Fatimah sudah
mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali untuk melamarnya. Begitu juga
dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai perasaan dengan Fatimah,. Tapi
mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu sampai saat nya tiba, sampai
saatnya ijab Kabul disahkan . Wah..wah.. mereka hebat yaaa (harus kita contohi,
sahabat-sahabat ). Walaupun Ali sudah merasakan kekecewaan 3 kali mendahulukan
orang lain, akhirnya kekecewaan itu terbayar juga.
Yup, sekali lagi, kata-kata ini pasti akan muncul dalam
benak sahabat² >>> “Jodoh memang tidak kemana dan rusuk yang hilang
tak kan pernah tertukar ”
Dari cerita itu, lebih memperjelas lagi kan bahwa “Cinta
itu, mengambil kesempatan , atau mempersilakan yang lain”
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap
orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan Cinta yang
mengendalikan Diri kita, Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta.
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada.. barangkali, kita saja yang
tidak mengetahuinya. Dan inilah kisah dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah
tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan perasaan tersebut “Bukan janj-janji”
Bukan janji-janji dan nanti-nanti. Ali adalah gentleman sejati., “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda
kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia
mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan
oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
(setelah mereka menikah) Fathimah
berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah
satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau
menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu
adalah Dirimu”
Suami-Isteri Yang Serasi
Sitti Fatimah r.a. dgn perasaan bahagia pindah ke rumah
suaminya yg sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup
dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah
mendidiknya bahwa kemanusiaan itu adl intisari kehidupan yg paling berharga. Ia
juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yg ditegakkan di atas
fon¬dasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam jauh lbh agung dan lbh mulia
dibanding dgn perkakas-perkakas rumah yg serba me¬gah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dgn rasa penuh
ke¬banggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak per¬nah mengalami
ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai
puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w. tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam
yg senantiasa sang¬gup berkorban seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam
yg murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian dirinya ha¬rus dapat menjadi
tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya terhadap
ayahandanya Nabi Muhammad s.a.w.
Dua sejoli suami isteri yg mulia dan bahagia itu selalu
be¬kerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga.
Mereka sibuk dgn kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar
gilingan dgn tangan sen¬diri. Ia membuat roti menyapu lantai dan mencuci.
Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yg tidak ditangani dgn tena¬ga sendiri.
Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya
se¬dang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau ber¬sama Imam
Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yg melukis¬kan
betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebu¬ah riwayat
mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman
Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil
melinangkan air mata. Baju yg dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya
menangis Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau
menghibur puterinya: “Fatimah terimalah kepahitan dunia utk memperoleh
keni’matan di akhirat ke¬lak”(5)
Riwayat lain mengatakan bahwa pada suatu hari Rasul Allah
s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a. tepat: pada saat ia bersama suaminya
sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: “Siapakah di antara
kalian berdua yg akan ku¬gantikan?”
“Fatimah! ” Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti
diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yg melukiskan betapa berat¬nya
penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya
menggambarkan betapa besarnya kesanggu¬pan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan
tugas hidupnya yg pe¬nuh bakti kepada suami taqwa kepada Allah dan setia kepada
Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yg menuturkan betapa repotnya Sitti
Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangga¬nya. Riwayat itu
menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Ra¬sul Allah s.a.w. bersama sejumlah
sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah yg akan
menguman¬dangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal
terlambat datang oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan dita-nya apa sebabnya.
Bilal menjelaskan:
“Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang
menggi¬ling tepung. Al Hasan puteranya yg masih bayi diletakkan dalam keadaan
menangis keras. Kukatakan kepadanya “Manakah yg lbh baik aku menolong anakmu
itu ataukah aku saja yg menggiling tepung”. Ia menyahut: “Aku kasihan kepada
anakku”. Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gan¬dum. Itulah yg
membuatku datang terlambat!”
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata:
“Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!”(6)
Hal-hal tersebut di atas adl sekelumit gambaran ten¬tang
kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan
keluarga yg penuh dgn semangat gotong-¬royong. Selain itu kita juga memperoleh
gambaran betapa se¬derhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu.
Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yg diba¬ngun oleh Islam dgn prinsip
ajaran keluhuran akhlaq. Itu¬pun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama
Islam yg diletakkan utk mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w. Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a.
ke¬tiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah seorang suami dan
seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang
seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.
Tak ada tauladan hidup sederhana yg lbh indah dari tauladan
yg diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau lebih-lebih
jika Rasul Allah s.a.w. sendiri menge¬hendaki kekayaan dan kemewahan apakah yg
tidak akan dapat diperoleh beliau?
Tetapi sebagai seorang pemimpin yg harus menjadi tau¬ladan
sebagai seorang yg menyerukan prinsip-prinsip kebena¬ran dan keadilan serta
persamaan sebagai orang yg hidup menolak kemewahan duniawi beliau hanya
mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dgn akhlaq dan cara
hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang tiap pen¬didik tiap
penguasa dan tiap pemimpin bekerja utk perbaikan masyarakat. Masing-masing
supaya mengajar memimpin dan men¬didik diri sendiri dgn akhlaq dan perilaku
utama sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yg dapat di¬lihat
dgn nyata mempunyai pengaruh lbh besar lbh ber¬kesan dan lbh membekas dari pada
sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yg nyata
ajakan yg baik akan lbh terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yg berasal dari Imam Ali r.a. sendiri
mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh krn tapak-ta¬ngannya menebal akibat
terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah
s.a.w. Karena tidak ber¬hasil ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan
maksud ke¬datangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang beliau diberi¬tahu oleh
Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yg hendak minta diusahakan
seorang pembantu rumah-tangga. Ra¬sul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah
kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur.
Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan
pandangan kasih sayang, “Puteriku, maukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih
baik daripada apa yang kau pinta itu?”
“Tentu sekali ya Rasulullah,” jawab Siti Fatimah kegirangan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jibril telah mengajarku
beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah membaca
‘Subhanallah’ sepuluh kali, ‘Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allahu Akbar’
sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanallah’, ‘Alhamdulillah’
dan ‘Allahu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Siti Fatimah.
Semua kerja rumah dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa
pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa
dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya. Cerita ini adalah dikisahkan menurut penceritaan
yang mudah untuk difahami, insyaAllah tegurlah ana jika ada yang tidak benar…
“Jika kamu memelihara dirimu daripada sesuatu perkara yang
haram kerana allah diatas wanita kesukaanmu kerana banyak bersabar , insyaAllah
hanya dengan izin Allah akan menghalalkannya kepada mu atas kesabaranmu kerana
Allah”
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar
diberi pembantu merupakan sebuah pelajaran penting ten¬tang rendah-hatinya
seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yg
diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh
keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dgn lapisan rakyat yg miskin dan
menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yg hanya seperti itulah yg akan
sanggup menjadi pelopor da¬lam melaksanakan prinsip persamaan kesederhanaan dan
keber¬sihan pribadi dalam kehidupan ini.