Rabu, 27 Juni 2012

Kisah Cinta Terindah Dalam Islam

Hikmah&Hidayah – Ali Bin Abi talib waktu itu ingin melamarFatimah, putri nabi Muhammad SAW. Tapi karena dia tidak mempunyai uang untuk membeli mahar, maka ia membatalkan niat itu. Ali segera berhijrah untuk bekerja dan mengumpulkan uang.  Pada saat Ali sedang bekerja keras, ia mendengar khabar kalau Abu Bakar ternyata melamar Fatimah. Wah, bagaimana agaknya perasaan Ali, wanita yang sudah dia inginkan dilamar oleh seseorang yang ilmu agama nya lebih hebat dari dia. Tetapii Ali tetap bekerja dengan giat.
Lalu setelah beberapa lama Ali mendengar kabar kalau lamaran Abu Bakar kepada Fatimah ditolak. Ali terpegun dan sedikit bergembira tentunya, kata Ali “waah, saya masih punya kesempatan ”. Setelah mendengar khabar itu, Ali bekerja lebih giat lagi agar cepat mengumpulkan uang dan segera melamar Fatimah. Tapi tak lama setelah itu, Ali mendengar khabar kalau Umar Bin Khatab melamar Fatimah. Wah, sekali lagi Ali mendahulukan orang lain, bagaimana perasaanya? Tapi tak berapa lama Ali mendengar kalau lamaran Umar bin Khatab ditolak. betapa senangnya Ali, mendengar kabar itu.
Tapi tak lama kesenangan itu kembali pudar Karena terdengar khabar lagi, ternyata Usman bin Affan melamar Fatimah. ini sudah yang ketiga kalinya, kata Ali “mungkin kali ini diterima. Kalaulah Usmantidak melamar Fatimah secepat ini, InsyaAllah tidak lama lagi saya akan melamar Fatimah, tapi , apa hendak dikata , adakah mahu mengalah
Dan sekali lagi, tidak berapa lama dari itu, khabar ditolaknya lamaran Usman bin Affan pun terdengar lagi, betapa bahagianya Ali. Semangat Ali untuk melamar Fatimah pun berkobar lagi.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Umar Ibnul Kha¬tab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber¬tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak utk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dgn tergopoh-¬gopoh dan terperanjat ia menyambutnya kemudian bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”
Setelah duduk beristirahat sejenak Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: “Hai Ali engkau ada¬lah orang pertama yg beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lbh dibanding dgn orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada¬lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau utk dapat mem-persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di¬tolak. Beliau mengemukakan bahwa persoalan puterinya diserah¬kan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi hai Ali apa sebab hingga se¬karang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar utk dirimu sendiri? Ku¬harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu un¬tukmu.”
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber¬linang-linang. Menanggapi kata-kata itu Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu Bakar anda telah membuat hatiku goncang yg se¬mulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yg sudah kulupakan. Demi Allah aku memang menghendaki Fatimah tetapi yg menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka¬rena aku tidak mempunyai apa-apa.”
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yg memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a. Abu Bakar r.a. berkata: “Hai Ali janganlah engkau ber¬kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”
Setelah berlangsung dialog seperlunya Abu Bakar r.a. ber¬hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. utk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yg ketika itu sedang berada di tempat ke¬diaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: “Siapakah yg me¬ngetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan bu¬kakan pintu baginya. Dia orang yg dicintai Allah dan Rasul-¬Nya dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya tetapi siapakah dia itu?”
“Dia saudaraku orang kesayanganku!” jawab Nabi Mu¬hammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu sampai kakiku ter¬antuk-antuk. Setelah pintu kubuka ternyata orang yg datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala seolah-olah mempunyai maksud tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya eng¬kau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yg ada dalam fikiranmu. Apa saja yg engkau perlukan akan kauperoleh dariku!”
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yg demikian itu lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib utk berkata: “Maafkan¬lah ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda Abu Thalib dan bibi anda Fatimah binti Asad di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda ya Rasul Allah adl tempat aku bernaung dan anda jugalah yg menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap utk melamar puteri anda Fatimah. Ya Rasul Allah apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dgn dia?”
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali apakah engkau mem¬punyai suatu bekal maskawin?” .
“Demi Allah” jawab Ali bin Abi Thalib dgn terus terang “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku tak ada sesuatu tentang diriku yg tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi sebilah pedang dan seekor unta.”
“Tentang pedangmu itu” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib “engkau tetap membutuhkannya utk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh utk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka-rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska¬win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari ta¬nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira sebab Allah ‘Azza wa¬jalla sebenarnya sudah lbh dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwa¬yat yg diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap dgn perasaan puas dan hati gembira dgn disaksikan oleh para sahabat Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwa¬sanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham . Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”
“Ya Rasul Allah itu kuterima dgn baik” jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. utk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Ra¬sul Allah s.a.w. Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah utk “biaya pesta” perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan utk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur terbuat dari kain kasar Mesir ;
-empat buah bantal kulit buatan Thaif ;
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air utk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai ‘aba-ah ;
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dgn itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dgn perkakas yg sederhana dan mudah di¬dapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke din¬ding lain dipancangkan sebatang kayu utk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yg disiapkan guna menanti kedatangan isterinya Sitti Fatimah Azzahra r.a.
Selama satu bulan sesudah pernikahan Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yg lama. Imam Ali r.a. merasa malu utk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan dite¬mani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka me¬nemui Ummu Aiman pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman Imam Ali r.a. menyampaikan keinginan¬nya.
Setelah itu Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yg menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesu¬dah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yg lain.
Guna membicarakan persoalan yg dibawa Ummu Salmah r.a. para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.(4)
Oh rupanya : ternyata memang dari dulu Fatimah sudah mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali untuk melamarnya. Begitu juga dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai perasaan dengan Fatimah,. Tapi mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu sampai saat nya tiba, sampai saatnya ijab Kabul disahkan . Wah..wah.. mereka hebat yaaa (harus kita contohi, sahabat-sahabat ). Walaupun Ali sudah merasakan kekecewaan 3 kali mendahulukan orang lain, akhirnya kekecewaan itu terbayar juga.
Yup, sekali lagi, kata-kata ini pasti akan muncul dalam benak sahabat² >>> “Jodoh memang tidak kemana dan rusuk yang hilang tak kan pernah tertukar ”
Dari cerita itu, lebih memperjelas lagi kan bahwa “Cinta itu, mengambil kesempatan , atau mempersilakan yang lain”
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita, Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta.
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut disekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada.. barangkali, kita saja yang tidak mengetahuinya. Dan inilah kisah dari Khalifah ke-4,  Suami dari Putri kesayangan Rasulullah tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan perasaan tersebut  “Bukan janj-janji”
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.  Ali adalah gentleman sejati.,  “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.  Ia mempersilakan.  Atau mengambil kesempatan.  Yang pertama adalah pengorbanan.  Yang kedua adalah keberanian.  Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,  dalam suatu riwayat dikisahkan  bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)  Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Suami-Isteri Yang Serasi
Sitti Fatimah r.a. dgn perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yg sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya bahwa kemanusiaan itu adl intisari kehidupan yg paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yg ditegakkan di atas fon¬dasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam jauh lbh agung dan lbh mulia dibanding dgn perkakas-perkakas rumah yg serba me¬gah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dgn rasa penuh ke¬banggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak per¬nah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w. tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam yg senantiasa sang¬gup berkorban seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yg murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian dirinya ha¬rus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya terhadap ayahandanya Nabi Muhammad s.a.w.
Dua sejoli suami isteri yg mulia dan bahagia itu selalu be¬kerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dgn kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dgn tangan sen¬diri. Ia membuat roti menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yg tidak ditangani dgn tena¬ga sendiri.
Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya se¬dang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau ber¬sama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yg melukis¬kan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebu¬ah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yg dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: “Fatimah terimalah kepahitan dunia utk memperoleh keni’matan di akhirat ke¬lak”(5)
Riwayat lain mengatakan bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a. tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: “Siapakah di antara kalian berdua yg akan ku¬gantikan?”
“Fatimah! ” Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yg melukiskan betapa berat¬nya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggu¬pan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yg pe¬nuh bakti kepada suami taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yg menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangga¬nya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Ra¬sul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah yg akan menguman¬dangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan dita-nya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:
“Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggi¬ling tepung. Al Hasan puteranya yg masih bayi diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya “Manakah yg lbh baik aku menolong anakmu itu ataukah aku saja yg menggiling tepung”. Ia menyahut: “Aku kasihan kepada anakku”. Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gan¬dum. Itulah yg membuatku datang terlambat!”
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: “Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!”(6)
Hal-hal tersebut di atas adl sekelumit gambaran ten¬tang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yg penuh dgn semangat gotong-¬royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa se¬derhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yg diba¬ngun oleh Islam dgn prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itu¬pun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam yg diletakkan utk mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w. Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a. ke¬tiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.
Tak ada tauladan hidup sederhana yg lbh indah dari tauladan yg diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri menge¬hendaki kekayaan dan kemewahan apakah yg tidak akan dapat diperoleh beliau?
Tetapi sebagai seorang pemimpin yg harus menjadi tau¬ladan sebagai seorang yg menyerukan prinsip-prinsip kebena¬ran dan keadilan serta persamaan sebagai orang yg hidup menolak kemewahan duniawi beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dgn akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang tiap pen¬didik tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja utk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar memimpin dan men¬didik diri sendiri dgn akhlaq dan perilaku utama sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yg dapat di¬lihat dgn nyata mempunyai pengaruh lbh besar lbh ber¬kesan dan lbh membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yg nyata ajakan yg baik akan lbh terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yg berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh krn tapak-ta¬ngannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak ber¬hasil ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan maksud ke¬datangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang beliau diberi¬tahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yg hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Ra¬sul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur.
Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, “Puteriku, maukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu?”
“Tentu sekali ya Rasulullah,” jawab Siti Fatimah kegirangan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, ‘Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allahu Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanallah’, ‘Alhamdulillah’ dan ‘Allahu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Siti Fatimah. Semua kerja rumah dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah.  Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya.  Cerita ini adalah dikisahkan menurut penceritaan yang mudah untuk difahami, insyaAllah tegurlah ana jika ada yang tidak benar…
“Jika kamu memelihara dirimu daripada sesuatu perkara yang haram kerana allah diatas wanita kesukaanmu kerana banyak bersabar , insyaAllah hanya dengan izin Allah akan menghalalkannya kepada mu atas kesabaranmu kerana Allah”
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu merupakan sebuah pelajaran penting ten¬tang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yg diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dgn lapisan rakyat yg miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yg hanya seperti itulah yg akan sanggup menjadi pelopor da¬lam melaksanakan prinsip persamaan kesederhanaan dan keber¬sihan pribadi dalam kehidupan ini.

Share this post:

Bookmark and Share


0 komentar:

Posting Komentar